Teruntuk Ayahanda tercinta yang jarang sekali bertatap muka.
Dari anakmu yang begitu rindu tapi tak punya daya untuk berlisan.
Apa kabarmu Ayah? Bagaimana makanmu? Bagaimana tidurmu? Adakah yang akhir-akhir ini memusingkanmu? Apa bajumu cukup tebal untuk melindungimu dari cuaca ekstrim akhir-akhir ini? Ayah gak lupa bawa payung, kan? Sekarang hujan gak bisa diprediksi loh Yah.
Ade? Baiiiik sekali. Di sini, Ade masih asik menata kata, mendengarkan beberapa cerita menarik dari sahabat-sahabat Ade, yaaa hitung-hitung belajar jadi psikolog sih Yah hehehe. Ade juga masih sering mengenang gimana dulu Ayah ngajak Ade nyari kunang-kunang. Ingat Yah?
Ayah, kita memang tinggal berjauhan, tapi anggap saja jarak itu mewakili seberapa rindunya Ade akan kedekatan kita. Kita juga jarang komunikasi, tapi anggap saja itu sebagai bagian dari rencana Ade agar saat kita ngobrol, akan ada lebih banyak cerita yang kita bagi. Dan kita juga jarang berbagi kehangatan, pun anggap saja itu sebagai pengingat betapa hangatnya pelukan dan celotah kita terakhir kali.
Ade memang jarang bahkan hampir gak pernah mengungkapkan betapa Ade (masih dan akan terus) sayang sama Ayah. Betapa Ade juga rindu sama Ayah. Tapi sungguh semua itu betul-betul Ade alami. Ade hanya terlalu takut mengungkapkan itu. Takut airmata yang tenang berubah air terjun.
Melalui surat cinta ini, Ade mau bilang, “Selamat Ulang Tahun, Ayah” selamat tanggal 1 Februari, Ayah. Semoga ayah selalu dalam lindungan Allah, hanya setitik harapan kecil itu yang bisa Ade hadiahi untuk Ayah. Nanti, Ade pasti akan mewujudkan impian Ayah. Pokoknya pasti. Ayah hanya tinggal berdoa, dan tetap mendukung Ade.
Mungkin banyak hal yang Ade lewatkan, mungkin banyak hal yang Ayah rindukan, dan mungkin banyak doa tak terdengar tapi tetap menggema dalam hati kita masing-masing. Ada ribuan senja kita lewatkan di tempat berbeda, ada ribuan waktu sholat kita jalani masing-masing, dan ada ribuan bintang yang kita pandang dari tempat berbeda.
Kita hanya berjauhan, bukan saling tidak ingat. Kita hanya butuh waktu membeku dan mempersempit jarak, bukan sekedar tulisan seperti sms. Kita juga butuh sholat berjamaah, bukan hanya saling mengamini doa satu sama lain lewat layanan telpon.
Kapan Yah kita akan mencari kembali kunang-kunang seperti dulu? Kunang-kunang. Seperti halnya Ayah, setitik penerang dalam kegelapan malam. Kapan lagi kita main kembang api bareng Yah? Kapan lagi kita berdoa setelah wudhu barengan Yah?
Ayah….
Biarkan waktu merenggut banyak momen kita, biarkan waktu berceceran tanpa bisa kita pungut lagi.
Biarkan senja kembali hilang dan berganti , biarkan bintang bertaburan sebanyak pasir pada pantai.
Biarkan kunang-kunang beterbangan tinggi tanpa bisa kita raih cahayanya.
Anggap saja semua itu mewakili betapa kita saling merindukan, betapa kasih sayang kita saling silang, dan betapa doa kita saling bersahutan.
Bayangkan betapa indahnya senja melintasi cakrawala, seindah itulah Ade menyayangi Ayah.
Bayangkan betapa banyaknya jarak yang terbentang dari garis pantai sampai persinggahan terakhir Matahari, sebanyak itupun Ade menyayangi Ayah.
Dan bayangkan betapa banyaknya pasir di sana, sebanyak itu pula kita pasti saling mendoakan, Yah.
Ayah, jaga diri Ayah baik-baik ya. Jangan lupa bawa payung, jaket, dan telepon genggam. Hanya sekedar mengingatkan, jangan banyak keluar rumah jika memang tidak terlalu penting. Jangan lupa kalau sudah tidak enak badan, minum vitamin Yah.
Teruntuk,
Laki-laki penyebab keberadaanku, laki-laki nomor satu dalam hidupku, laki-laki yang hati dan bibirnya selalu berdoa untukku, dan laki-laki yang kupanggil Ayah.
Dari,
Anak gadis yang begitu senang bermain kunang-kunang, anak gadis yang selalu mengamini doanya, dan anak gadis yang selalu dipanggilnya Ade, Nona, Putri, Sweetheart.
Selamat Ulang Tahun ke-48, Ayah. Sekarang, gantian aku yang akan selalu mengirim dan menggemakan banyak doa untukmu.
Karya : Annisa Fitrianda Putri
Dari anakmu yang begitu rindu tapi tak punya daya untuk berlisan.
Apa kabarmu Ayah? Bagaimana makanmu? Bagaimana tidurmu? Adakah yang akhir-akhir ini memusingkanmu? Apa bajumu cukup tebal untuk melindungimu dari cuaca ekstrim akhir-akhir ini? Ayah gak lupa bawa payung, kan? Sekarang hujan gak bisa diprediksi loh Yah.
Ade? Baiiiik sekali. Di sini, Ade masih asik menata kata, mendengarkan beberapa cerita menarik dari sahabat-sahabat Ade, yaaa hitung-hitung belajar jadi psikolog sih Yah hehehe. Ade juga masih sering mengenang gimana dulu Ayah ngajak Ade nyari kunang-kunang. Ingat Yah?
Ayah, kita memang tinggal berjauhan, tapi anggap saja jarak itu mewakili seberapa rindunya Ade akan kedekatan kita. Kita juga jarang komunikasi, tapi anggap saja itu sebagai bagian dari rencana Ade agar saat kita ngobrol, akan ada lebih banyak cerita yang kita bagi. Dan kita juga jarang berbagi kehangatan, pun anggap saja itu sebagai pengingat betapa hangatnya pelukan dan celotah kita terakhir kali.
Ade memang jarang bahkan hampir gak pernah mengungkapkan betapa Ade (masih dan akan terus) sayang sama Ayah. Betapa Ade juga rindu sama Ayah. Tapi sungguh semua itu betul-betul Ade alami. Ade hanya terlalu takut mengungkapkan itu. Takut airmata yang tenang berubah air terjun.
Melalui surat cinta ini, Ade mau bilang, “Selamat Ulang Tahun, Ayah” selamat tanggal 1 Februari, Ayah. Semoga ayah selalu dalam lindungan Allah, hanya setitik harapan kecil itu yang bisa Ade hadiahi untuk Ayah. Nanti, Ade pasti akan mewujudkan impian Ayah. Pokoknya pasti. Ayah hanya tinggal berdoa, dan tetap mendukung Ade.
Mungkin banyak hal yang Ade lewatkan, mungkin banyak hal yang Ayah rindukan, dan mungkin banyak doa tak terdengar tapi tetap menggema dalam hati kita masing-masing. Ada ribuan senja kita lewatkan di tempat berbeda, ada ribuan waktu sholat kita jalani masing-masing, dan ada ribuan bintang yang kita pandang dari tempat berbeda.
Kita hanya berjauhan, bukan saling tidak ingat. Kita hanya butuh waktu membeku dan mempersempit jarak, bukan sekedar tulisan seperti sms. Kita juga butuh sholat berjamaah, bukan hanya saling mengamini doa satu sama lain lewat layanan telpon.
Kapan Yah kita akan mencari kembali kunang-kunang seperti dulu? Kunang-kunang. Seperti halnya Ayah, setitik penerang dalam kegelapan malam. Kapan lagi kita main kembang api bareng Yah? Kapan lagi kita berdoa setelah wudhu barengan Yah?
Ayah….
Biarkan waktu merenggut banyak momen kita, biarkan waktu berceceran tanpa bisa kita pungut lagi.
Biarkan senja kembali hilang dan berganti , biarkan bintang bertaburan sebanyak pasir pada pantai.
Biarkan kunang-kunang beterbangan tinggi tanpa bisa kita raih cahayanya.
Anggap saja semua itu mewakili betapa kita saling merindukan, betapa kasih sayang kita saling silang, dan betapa doa kita saling bersahutan.
Bayangkan betapa indahnya senja melintasi cakrawala, seindah itulah Ade menyayangi Ayah.
Bayangkan betapa banyaknya jarak yang terbentang dari garis pantai sampai persinggahan terakhir Matahari, sebanyak itupun Ade menyayangi Ayah.
Dan bayangkan betapa banyaknya pasir di sana, sebanyak itu pula kita pasti saling mendoakan, Yah.
Ayah, jaga diri Ayah baik-baik ya. Jangan lupa bawa payung, jaket, dan telepon genggam. Hanya sekedar mengingatkan, jangan banyak keluar rumah jika memang tidak terlalu penting. Jangan lupa kalau sudah tidak enak badan, minum vitamin Yah.
Teruntuk,
Laki-laki penyebab keberadaanku, laki-laki nomor satu dalam hidupku, laki-laki yang hati dan bibirnya selalu berdoa untukku, dan laki-laki yang kupanggil Ayah.
Dari,
Anak gadis yang begitu senang bermain kunang-kunang, anak gadis yang selalu mengamini doanya, dan anak gadis yang selalu dipanggilnya Ade, Nona, Putri, Sweetheart.
Selamat Ulang Tahun ke-48, Ayah. Sekarang, gantian aku yang akan selalu mengirim dan menggemakan banyak doa untukmu.
Karya : Annisa Fitrianda Putri
No comments:
Post a Comment